Ket. Sambutan seminar dari Prof. Dr. Usamah Tala’at selaku Dosen Arkeologi Islam dan Wakil Pasca Sarjana Fak. Arkeologi, Universitas Kairo. Sekaligus Penasehat di lembaga CULTNAT (Center for Documentation of Cultural and Heritage: Pusat Dokumentasi Budaya dan Alam), Bibliotheca Aleksandria. (Sumber : Dok. Mikyal Adila)

Kairo  - Para pembicara dalam seminar yang dilaksanakan di rumah budaya atau dikenal dengan Beit el-Sinnari (Sebuah rumah yang dibangun oleh Ibrahim Katkhuda el-Sinnari pada tahun 1794. Kemudian dijadikan basis para cendekiawan Prancis yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte tatkala melakukan invasi 1798), Haret Monge, kawasan Sayida Zainab, mengungkapkan bahwa muslimin patut bangga memiliki tokoh ilmuwan dengan julukan “Bapak Ensiklopedi” dimana ia mampu menguasai beberapa bidang keilmuan sampai pada akarnya bukan hanya dipermukaan saja.

Beliau adalah Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni dikenal didunia barat dengan Ptolemy Arab.

Diawali oleh Prof. Dr. Fathi Shaleh yang mengenalkan serta menjelaskan bagaimana fase-fase atau rantai peradaban dunia dimulai hingga Islam menjadi kiblat peradaban dunia serta peralihan kiblat ke Barat saat ini. 

Ia menuturkan beberapa peradaban yang ada sebelum masa Islam, seperti madrasah Firaun  dengan kubah langitnya dalam pemakaman Firaun ,madrasah Yunani dengan teori Aristoteles, madrasah Aleksandria dengan Ptolemy  tentang Astrolabe namun masih sebatas teori. Beliau memperlihatkan kepada hadirin bagaimana nama-nama bintang dilangit, kawah-kawah dibulan diberi nama dalam Bahasa Arab, serta peradaban  Firaun yang sudah mengenal ilmu perbintangan namun dengan gambar dan nama yang berbeda.

Kemudian  menerangkan bagaimana tumbuh kembang Al-Biruni, bahasa yang ia pelajari, penomoran dengan menggunakan abjad arab, dan lingkungan sekitarnya hingga wafatnya di Ghazna. 

Dilanjut oleh pemateri kedua  Mrs. Nevin Adel, Prof. Ali Khifni, Prof. Faishal Munir merupakan pembicara dari CULTNAT, Blibliothecha Aleksandria. Mereka menuturkan proyek-proyek yang sedang dilakukan oleh CULTNAT untuk berkontribusi dalam memelihara turats Islam. Berbagai program digitalisasi mereka buat guna mempermudah akses penelitian bagi para peneliti.

Kemudian pembicara ketiga disampaikan oleh Prof. Dr. Mohammad Shaleh An-Nawawi, beliau menerangkan bagaimana berbagai ahli ilmu atau orang-orang yang mahir dalam berbagai bidang keilmuan  menjelma dalam sosok Al-Biruni, sehingga ia layak dijuluki sebagai “Sosok Ensiklopedis”. Beliau menyebutkan, “Bagaimana tidak, hampir semua bidang keilmuan ia jejali. Karyanya bukan hanya dibidang astronomi, namun juga geografi, sejarah, sastra dan lainnya” sembari memperlihatkan judul-judul karya Al-Biruni yang lebih dari 183 manuskrip.  Ia menyampaikan bahwa Al-Biruni seorang ilmuwan yang terkesan atau terpengaruh oleh Daulah India.

“Al-Biruni adalah pemuda yang cerdas, diusianya yang masih muda sekitar 25 tahun beliau meneliti luas jari-jari bumi dan bagaimana dengan kita?”. Selain itu, ia juga membedakan ilmu falak/astronomi dengan astrologi, mentahqiq karya Al-Mas’udi dengan judul al-Qanun al-Mas’udi.  Prof. Dr. Shaleh Nawawi  juga sempat menjelaskan bagaimana peradaban zaman dahulu dibangun oleh berbagai agama, Islam Yahudi, dan Nashrani serta dibangun oleh golongan-golongan lain. 

Disela-sela pembicara kami kedatangan seorang peneliti besar manuskrip masa kini serta penerjemah  karya-karya dalam bahasa Prancis kedalam bahasa Arab, yaitu Dr. Ayman Fouad Sayeed. Beliau merupakan salah satu tokoh yang penulis kagumi. Sungguh suatu kedatangan yang tak diduga-duga. Beliau sempat menyampaikan beberapa kalimat mengenai al-Biruni dan kaitannya dengan Maneton, seorang pemuka agama yang menulis tentang daftar-daftar raja atau King List. Selain itu beliau menyampaikan manuskrip yang berkaitan dengan al-Biruni, negeri Mesir, dan ilmuwan muslim lainnya.

Sesi berikutnya diisi oleh  Dr. Reham Saeed, dalam presentasinya beliau memperlihatkan kepada peserta seminar bagaimana lukisan yang ada dalam sebuah manuskrip karya Al-Biruni dengan judul “Al-Atsar al-Baqiyah ‘an al-Qurun al-Khaaliyah” serta menjelaskan lukisan tersebut. Pergantian raja-raja yang ditandai dengan menggunakan lukisan, bagaimana keindahan seni dizaman tersebut hingga menyebutkan referensi lanjutan bagi yang ingin mengkaji seputar lukisan islam di abad pertengahan.

Pembicara terakhir diisi oleh Dr. Ahmad Mohammad ad-Dusuqi yang menjelaskan tentang mata uang (nuqud/maskukat) dikenal dengan numismatik, yang beredar dizaman al-Biruni. Sebelumnya ia menerangkan bahwa kita dapat mengetahui pemimpin atau sultan yang berkuasa dimasa itu dengan memperhatikan koin atau uang yang beredar masa itu. Juga mengetahui berapa lama kekuasaannya bertahan. Ini dapat dibuktikan dengan melihat nama yang tercantum dalam koin tersebut. Apabila nama tersebut hilang maka dipastikan sudah terjadi peralihan kekuasaan. 

“Kalau di zaman kita, mungkin bisa melihat tanda tangan dan gubernur keuangannya. Mungkin bentuknya atau gambarnya masih sama, namun namanya pasti berganti-ganti sesuai masa jabatan”.

Beliau mulai menjelaskan bentuk koin serta bagian-bagian yang ada dalam koin. Adapun yang berada ditengah koin disebut sebagai  kitaabat markaziah dan bagian sisi luar disebut kitaabat hamisyiah. Koin yang beredar dibuat dari emas, perak, dan perunggu dengan bentuk bulat.

Dilanjutkan dengan menjelaskan nama-nama raja yang berkuasa sesuai dengan yang tercantum dalam koin-koin yang berderar pada era al-Biruni daulah as-Samaniyah serta daulah lain yang dilaluinya.

Diantara raja-raja tersebut ialah:

  1. Manshur at-Tsani

  2. Manshur bin an-Nuh

  3. Nuh bin Manshur

  4. Qabus bin Syamkir

  5. Ali bin Ma’mun

  6. As-Sulthan Mahmud al-Ghaznawi

  7. As-Sulthan Mas’ud al-Ghaznawi ( laqobnya: Nashir dinillah)

  8. As-Sulthan Maudud al-Ghaznawi (laqobnya: Syihabuddaulah).

           
            Selain itu, terdapat pameran model Astrolabe dari berbagai era, seperti Astrolabe al-Ashraf yang dibuat tahun 650 H/1252 M, Astrolabe Umar bin Al Muzafari dibuat tahun  690 H/1291 M, Astrolabe An-Naisaburi dibuat tahun 698 H/ 1299 M, dan jam matahari. Adapun Astrolabe yang orisinil tersebar diberbagai museum luar Mesir. Seperti Oxford, New York, dan Nurenberg. Astrolabe lainnya juga dapat dijumpai di Museum of Islamic Art, Kairo.

Kegiatan pun ditutup oleh  Prof. Dr. Usamah Tala’at pukul 20.45 malam dan dilaksanakan sesi perfotoan dengan beberapa pembicara. Disini penulis sebagai juru foto. (In frame: teman satu fakultas).

Ditulis pada 09/09/2019.